Sayuti Melik
Sejak muda, Sayuti Melik sudah menyukai dunia tulis-menulis.
Tulisan Sayuti Melik juga kerap membuat Belanda terganggu, hingga sempat beberapa kali ditahan oleh Belanda.
Sejak masih belia, Sayuti Melik sudah berminat pada isu-isu kebangsaan.
Sayuti Melik gemar membaca buku, koran, serta mengikuti acara diskusi yang menghadirkan tokoh-tokoh berpengaruh.
Salah satu tokoh panutannya adalah pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Terlebih rumahnya tidak terlalu jauh dengan markas Muhammadiyah di Kauman.
Namun seiring pikirannya yang semakin kritis, Sayuti Melik mulai jenuh dengan pemikiran Ahmad Dahlan yang dinilai kurang progresif-revolusioner.
Baca: Roeslan Abdulgani
Akhirnya Sayuti Melik meninggalkan Ahmad Dahlan dan kemudian berguru pada Haji Misbach.
Haji Misbach juga seorang ulama terkenal di Solo yang berhaluan kiri.
Sayuti Melik pertama kali mengenalnya ketika bersekolah di Solo pada 1920 lewat tulisan-tulisannya di majalah Islam Bergerak atau Medan Moeslimin.
Sayuti Melik kemudian tertarik pada sosialisme, komunisme, marxisme, dan sebagainya.
Saat itu, ideologi-ideologi tersebut belum dilarang, bahkan menjadi ujung tombak perlawanan terhadap kolonial.
Sebagai seorang penulis, Sayuti Melik kerap menuliskan pemikiran-pemikirannya dan dikirim ke berbagai surat kabar.
Karena tulisan-tulisan pergerakan tersebut, Sayuti Melik sempat ditahan Belanda ketika usianya baru 16 tahun.
Pada 1924, Sayuti Melik menjadi tahanan kolonial Belanda di Ambarawa, Jawa Tengah karena tuduhan telah menghasut rakyat untuk melawan pemerintah.
Dua tahun berselang, Sayuti Melik menghadapi masalah yang lebih serius.
Sayuti melik dituding terlibat dalam aksi pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1926.
Kabarnya, Sayuti Melik tidak hanya ditahan, tapi juga dibuang ke Boven Digul Papua bersama orang-orang PKI.
Baca: Richard Branson
Sayuti Melik baru pulang dari Boven Digul pada 1933, namun hanya berselang tiga tahun kembali dijebloskan ke penjara.
Saat itu, Sayuti Melik tengah merantau ke Singapura dan ditangkap oleh kolonial Inggris karena dicurigai terlibat dalam gerakan bawah tanah.
Kembali ke tanah air pada 1937, Sayuti Melik kemudian bertemu dengan SK Trimurti yang kemudian menjadi istrinya.
SK Trimurti adalah seorang jurnalis perempuan sekaligus aktivis pergerakan nasional yang juga kerap keluar-masuk penjara.
Keduanya menikah pada 1938 dan menerbitkan koran Pesat di Semarang.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Pesat sempat diberangus karena dianggap berbahaya.
Tidak hanya itu, SK Trimurti juga dibui, sedangkan Sayuti Melik ditangkap karena dituding sebagai komunis.
Pada 1943, atas permintaan Soekarno, Trimurti dibebaskan.
Sayuti Melik dan Trimurti sempat hidup tenang karena dekat dengan Soekarno yang sudah dikenal sejak 1926.
Baca: Doni Salmanan
Belakangan, Sayuti Melik tergabung dalam kelompok Menteng 31 yang menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, 16 Agustus 1945.
Pada peristiwa itu, mereka meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang dalam rangka merebut kemerdekaan.
Di Jakarta, golongan muda yang diwakilkan oleh Wikana dan golongan tua diwakilkan oleh Ahmad Soebardjo melakukan perundingan.
Mereka sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Konsep naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad Soebardjo di rumah Laksamana Tadashi Maeda di jalan Iman Bonjol, No. 1, Jakarta Pusat.
Wakil para pemuda, Suyuti Melik dan Sukarni turut menyaksikan peristiwa tersebut.
Dalam suasana tegang itu, Sayuti Melik sedikit memberi gagasan yakni agar teks proklamasi ditandatangani langsung Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia.
Usulnya pun diterima, Bung Karno segera memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetiknya.
Sayuti Melik juga berperan dalam pengubahan kalimat 'Wakil-wakil bangsa Indonesia' menjadi 'Atas nama bangsa Indonesia'.
Meski ikut berperan dalam upaya kemerdekaan, menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), serta cukup dekat dengan Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia, tapi Sayuti Melik tidak sepenuhnya merasa merdeka.
Belum genap setahun Indonesia merdeka, Sayuti Melik ditangkap pemerintah RI atas perintah Amir Sjarifuddin yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dengan tuduhan terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 yang disebut-sebut sebagai upaya makar pertama pasca-kemerdekaan.
Namun setelah diperiksa Mahkamah Tentara, Sayuti Melik tidak terbukti bersalah dan kemudian dilepas dari dakwaan.
Sayuti Melik kemudian ikut berjuang melawan Belanda yang ingin berkuasa kembali di Indonesia.
Pada 1948, lagi-lagi Sayuti Melik ditangkap dan ditahan oleh Belanda di Ambarawa dan baru dibebaskan menjelang penyerahan kedaulatan pada 1950.
Pasca berdaulat sepenuhnya, Sayuti Melik justru berbalik melawan Soekarno yang sempat dekat dengannya.
Sayuti Melik menentang gagasan Soekarno tentang Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom) dan mengusulkan mengubah komunisme menjadi sosialisme, sehingga Nasakom seharusnya diganti menjadi Nasasos.
Sayuti Melik juga menentang pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS.
Lewat tulisan 'Belajar Memahami Soekarnoisme' yang dimuat di puluhan media massa, Sayuti Melik memaparkan perbedaan Marhaenisme Soekarno dengan doktrin komunisme ala PKI.
Sayuti Melik menyerang PKI yang dulu pernah dibelanya, dan menuding kerap menjilat sang penguasa.
Sejak saat itu, Sayuti Melik kerap diabaikan oleh rezim Soekarno.
Namun ketika masuk era Orde Baru, Sayuti Melik justru mendapat perlindungan dari pemerintah.
Aroma kiri yang pernah melekat pada diri Sayuti Melik ternyata dimaafkan.
Bahkan karier politik Sayuti Melik di masa Orde Baru melesat.
Pada Pemilu 1971 dan 1977, Sayuti Melik berhasil menjadi anggota DPR/MPR dari Fraksi Golkar yang tidak lain merupakan representasi dari kekuasaan Soeharto.
Sayuti Melik juga beberapa kali menerima penghargaan seperti Bintang Mahaputra tingkat V pada 1961 dari Presiden Soekarno dan Bintang Mahaputra Adipradana (II) dari Presiden Soeharto pada 1973.
Sayuti Melik kemudian menghembuskan napas terakhir pada 27 Februari 1989 setelah setahun sakit.
Sayuti Melik kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata di Jakarta Selatan. (2)
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/PUAN)
Baca lengkap soal Ir. Soekarno di sini
[embedded content]
0 Response to "Sayuti Melik"
Post a Comment